OLEH: RAGIL MUNDJAHID
April 2016
Sampah menjadi masalah bagi setiap negara di dunia, demikian juga Indonesia. Menurut hasil penelitian Bank Dunia untuk estimasi sampai tahun 2025, Indonesia merupakan Negara Asia– selain Filipina– yang menghadapi permasalahan sampah terbesar (Bank Dunia, 1999). Hal ini juga didukung data survei Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dari tahun 2008 sampai 2012 yang menunjukkan adanya kenaikan berat sampah lebih dari 300% (KLH, 2008; KLH 2013; BUMN, 2013). Dari total sampah tersebut terbanyak dihasilkan dari wilayah perkotaan dan lebih dari 50% adalah sampah rumah tangga (KLH, 2008; BUMN, 2013). Sampah sebanyak itu menurut KLH hanya 23,4% sampah yang berhasil diangkut melalui sistem pengelolaan sampah resmi dari pemerintah. Sisanya tertangani oleh sistem tidak resmi, di antaranya, 1,1% diolah menjadi kompos, 52,1% dibakar, dan 23,4 % melalui cara ditimbun, dibuang di saluran pembuangan air, sungai, atau laut dan dibuang di tempat lain (Landon, 2013).
Kondisi
persampahan yang belum teratasi tersebut menunjukan perlunya sebuah usaha yang
lebih baik yaitu langkah penanganan dari sumber sampah. Hal yang dapat dilaksanakan di antaranya
dengan pengelolaan sampah rumah tangga atau sampah domestik yang merupakan
sumber sampah terbanyak (lebih dari 50%).
Pengelolaan sampah domestik dapat dilakukan di antaranya dengan daur ulang. Daur
ulang merupakan suatu tindakan yang memerlukan langkah pemisahan dan
pengumpulan bahan dari limbah, dan selanjutnya pemanfatan atau menjadikan
barang berharga (Davies, Foxall, &
Pallister, 2002). Langkah ini dapat membantu mengurangi sampah,
mengurangi biaya pengangkutan dan mengurangi resiko lingkungan. Pelaksanaan daur ulang dapat diawali dengan
pemilahan sampah organik dan nonorganik. Sampah organik dapat dijadikan kompos
sedangkan yang nonorganik dapat dipilah untuk dimanfaatkan, baik disumbangkan,
dijual atau dijadikan produk lain (misalnya kerajinan tas atau dompet). Perilaku mendaur ulang sampah domestik telah banyak diterapkan
sebagai langkah efektif dalam penanganan masalah lingkungan yang berkelanjutan
(Barr, 2008).
Praktek daur ulang sampah
domestik sudah dilakukan di banyak negara dalam rangka mengurangi sampah yang
masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah dan efisiensi biaya (Davis dan
Morgan, 2008) serta untuk melindungi lingkungan (Thogersen, 1994). Indonesia
pun telah mengeluarkan regulasi tentang daur ulang domestik dengan keluarnya UU
No 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga. UU ataupun PP sejalan dengan Bell et. al. (2001) di mana selain
prasarana seperti teknologi, pemerintah juga menekankan adanya perubahan
perilaku dengan berusaha memfasilitasi dan menumbuhkan kesadaran, serta
partisipasi mengelola sampah. Namun, regulasi pemerintah tersebut belum
membuahkan hasil bila dilihat dari perilaku daur ulang sampah domestik yang
masih rendah, baik langkah pemilahan atau pemanfaatan. Hal tersebut tercermin
dari hasil survey KLH, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Riset Kesehatan
Masyarakat 2013.
Menurut survey KLH 2012 rumah tangga yang melakukan daur ulang
kurang dari 5% (KLH, 2012). Riset Kesehatan Masyarakat 2013 (BPPKKK, 2013) juga mendukung hal
tersebut, dimana warga yang telah mendaur
ulang dengan cara pengomposan masih minim (0.9%). Ini merupakan jumlah sangat
kecil dari perilaku mendaur ulang yang telah dilakukan pada tingkat rumah
tangga. Demikian juga hasil survey BPS (2012, 2013) memperkuat hal tersebut
(table 1). Warga yang telah memanfaatkan sampah hanya sekitar 10%, baik dengan
cara pengomposan maupun menjadikan sampah nonorganic menjadi barang berguna.
Tabel 1
Prosentase Perilaku rumah tangga berhubungan dengan daur ulang[1]
Perilaku terkait daur ulang
|
2012
|
2013
|
|
1
|
Memanfaatkan sampah nonorganik menjadi barang lain (misalnya
plastik dibuat tas)
|
1,67%
|
1,78%
|
2
|
Membuat pupuk/mengompos
|
2,94 %
|
5,56%
|
3
|
Memilah untuk dimanfaatkan (dibuat kompos, pakan ternak,
disumbangkan dll)
|
-
|
10,28%
|
4
|
Memilah terus dibuang
|
-
|
13,41%
|
5
|
Tidak memilah sampah
|
76,31%
|
|
Sumber: Survei perilaku masyarakat peduli lingkungan 2012 dan
2013 (BPS, 2012; BPS, 2013)
|
Tabel 1 menunjukkan prosentase
warga yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga yaitu sebesar 10,28%
melakukan pemilahan untuk dimanfaatkan, 13,41% memilah langsung dibuang, 5,56% mengompos dan 1,78% memanfaatkan sampah nonorganik.
Data tersebut memberi gambaran bahwa kebanyakan rumah tangga tidak melakukan
pemilihan sampah (lebih 75%) yang merupakan tindakan paling awal untuk daur
ulang. Sedangkan warga yang telah memilah pun lebih banyak yang tidak
memanfaatkan daripada yang sudah memanfaatkan.
Survey BPS (2013) juga
menginformasikan alasan warga tidak memilah sampah seperti yang ditunjukkan
dalam gambar.1. Warga beralasan untuk tidak memilah
karena malas, tidak tahu harus memilah, tidak ada fasilitas, tidak
menguntungkan dan tidak ada peraturan.
Gambar
1. Prosentase alasan warga tidak melakukan pemilahan sampah domestik (BPS,
2013)
Alasan – alasan pada
gambar 1 tersebut dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal yang menjadikan orang tidak memilah adalah adanya rasa malas, tidak
tahu bagai mana cara memilah sampah dan adanya anggapan bahwa memilah adalah
tindakan yang tidak menguntungkan. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi
alasan adalah adanya pandangan bahwa pemilahan sampah belum ada aturannya dan
belum tersedianya fasilitas. Terlihat bahwa peran faktor internal jauh lebih
besar dari faktor eksternal (faktor internal = 84 % dan faktor ekternal = 16
%). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku tidak memilah sampah lebih dipengaruhi
oleh faktor yang bersifat internal.
Faktor internal seperti
rasa malas dapat dimungkinkan karena adanya perasaan capek, atau dapat juga disebabkan
karena tidak tahu manfaat yang didapat dari tindakan pemilahan sampah sehingga
hal tersebut dianggap sebagai perilaku yang tidak menguntungkan. Survey BPS
(2013) menunjukkan bahwa pengetahuan yang tinggi tentang pentingnya memilah
sampah baik sampah makanan, plastik, kertas dan lainnya tidak
dikuti dengan tindakan memilah sampah yang tinggi di masyarakat. Warga yang
telah mengatahui tentang perlunya pemilahan sampah sesungguhnya relatif besar
(43,10%), namun yang melakukan pemilahan sampah dimanfaatkan masih sedikit
(10,28%) sedangkan yang memilah terus dibuang lebih besar (13,41%) (BPS, 2013).
Melihat besarnya peran faktor internal pada
perilaku tidak memilah (76,31%), sementara tingkat perilaku mendaur ulang yang
kecil (kurang 5%), hal ini memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian terkait
dengan upaya meningkatkan perilaku daur ulang dalam sebuah kegiatan intervensi.
Hasil survey BPS (2013) memeberikan informasi bahwa faktor yang mempengaruhi
perilaku tidak memilah sampah adalah faktor internal maka peneliti ingin
memfokuskan intervensi pada faktor internal tersebut namun juga tetap
memperhatikan faktor eksternal.
Faktor internal dan
eksternal menurut McDonal (2014) memang harus dipertimbangkan dalam membuat
kerangka kerja atau model perilaku daur ulang untuk memahami pengaruhnya
sebelum melakukan intervensi. Faktor internal seperti sikap dan affect, sedangkan faktor eksternal seperti
kebijakan yang mengatur tentang mendaur ulang dan fasilitas pendukung perilaku
daur ulang akan berpengaruh terhadap perilaku daur ulang. Terkait hasil survey
BPS (2013) di atas kita dapat melihat bahwa orang tidak memilah dengan alasan
malas ada kemungkinan karena jijik atau karena memang tidak suka dengan mendaur
ulang sehingga memiliki affect
negatif. Alasan malas juga dimungkinkan dipengaruhi oleh ketidaktahuan hasil yang
menguntungkan dari memilah (misalnya, sampah organik untuk pupuk dan plastik
bungkus kopi untuk kerajinan tas). Adanya pemilahan juga akan lebih memudahkan
pihak pengelola sampah menanganinya baik sampah organik, nonorgani maupun
sampah yang mengandung bahan berbahaya dalam rangka menghindari pencemaran baik
tanah maupun udara. Ketidaktahuan manfaat seperti itu dapat mengarahkan orang
untuk bersikap negatif terhadap perilaku pemilahan sampah yang merupakan
tindakan awal untuk mendaur ulang. Sedangkan alasan tidak ada fasilitas dan
tidak ada peraturan dapat disebabkan tiadanya informasi terkait memilah sampah
sehingga dapat yang mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang bagaimana
caranya, kapan dan dimana perilaku pemilahan dapat dilaksanakan. Terlihat bahwa
alasan-alasan tersebut saling terkait, hal ini sesuai dengan pandangan McDonal
(2014) yang menyatakan bahwa faktor internal maupun ekternal saling terkait
mempengaruhi perilaku mendaur ulang sampah. Selain itu juga menunjukkan bahwa faktor
internal dan eksternal dipengaruhi oleh pengetahuan, baik pengetahuan tentang manfaat
atau konsekwensi hasil dari perilaku maupun pengetahuan secara khusus tentang
tata cara perilaku dilaksanakan.
Do-Valle, Rebelo, Reis, &
Menezes (2005) juga mengungkapkan pentingnya membedakan pengetahuan, baik
pengetahuan spesifik (tata cara) daur ulang maupun pengetahuan secara umum
(manfaat atau keuntungan daur ulang). Pengetahuan tata cara daur ulang akan
mempengaruhi persepsi seseorang tentang kemampuannya untuk mendaur ulang yang
akhirnya juga mempengaruhi perilaku daur ulang. Survey BPS (2013) mengindikasikan hal ini, baik
dari ungkapan (alasan yang disampaikan) maupun tindakan dalam melakukan langkah
awal daur ulang yakni pemilahan sampah domestik. Pengetahuan tentang manfaat
atau konsekwensi hasil dari mendaur ulang juga akan berpengaruh pada perilaku daur
ulang. Warga yang telah memilah sampah bila tahu memanfaatkannya tidak akan
membuang sampah yang telah dipilah tersebut.
Pengetahuan sangat penting dalam menumbuhkan
dorongan dan keyakinan kemampuan orang untuk bertindak mendaur ulang. Namun
jika tidak ada kesempatan, perilaku dapat tidak terwujud (Thogersen, 1994).
Kesempatan biasa dimaksudkan untuk menangkap faktor situasional seperti sistem pengelolaan
sampah yang ada. Misalnya suatu komunitas memiliki sistem daur ulang, namun
hanya menampung daur ulang botol bekas orang cenderung hanya mendaur ulang
botol bekas, sedangkan barang lain seperti kertas akan diabaikan atau ada
sistem pewadahan namun jaraknya cukup jauh dari warga dapat menyebabkan
kenyamanan warga kurang sehingga tidak mendaur ulang. Ini menunjukkan perlunya
sebuah wadah atau organisasi yang menangani dan memberi kenyaman orang untuk daur
ulang. Namun menurut Davies, Foxall, dan
Pallister (2002) pengetahuan dan dukungan faktor situasional belum cukup untuk
tumbuhnya perilaku daur ulang. Hal ini dapat dilihat pada tingkat daur ulang di
Inggris, di mana fasilitas cukup tersedia dan pengetahuan cukup tinggi dengan
banyak informasi tentang daur ulang, namun tingkat daur ulang masih rendah
(sekitar 9% bahan yang telah didaur ulang).
Selain pengetahuan
dan situasional yang digambarkan di atas, demografi juga sering dijadikan
pertimbangan dalam mendorong perilaku daur ulang. Para peneliti masih berbeda pandangan,
ada yang pro dan ada kontra dalam pendapatnya tentang pengaruh faktor demografi.
Namun ada dukungan dalam penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa
perubahan perilaku daur ulang akan efektif jika dilakukan
perempuan (Izagirre‐Olaizola,
Fernández‐Sainz,
& Vicente‐Molina,
2015), orang dewasa/paruh baya dan lebih tua (Meneses
dan Palacio, 2005; Saphores et al, 2006) dan telah menikah (Davies et.al, 2002). Hasil survey KLH (2013)
juga menunjukkan perempuan lebih mungkin untuk melakukan pemilahan sampah yang
merupakan bagian dari daur ulang daripada lelaki. Ini menunjukkan pentingnya
peran ibu-ibu dalam menangani masalah sampah rumah tangga termasuk daur ulang.
Faktor-faktor penentu
perilaku daur ulang yang diuraikan di atas cukup memberi pedoman untuk
melakukan kegiatan mendorong perilaku mendaur ulang, di mana pengetahuan
merupakan faktor penting yang dapat menumbuhkan perilaku daur ulang. Pengetahuan
dapat ditingkatkan dengan pemberian informasi, pendidikan dan pelatihan. Menurut Bartholomew et. al. (2006) pelatihan
merupakan cara yang paling banyak digunakan dalam
rangka intervensi untuk merubah pengetahuan dan ketrampilan yang bertujuan
adanya perubahan perilaku. Namun pelatihan semata sering tidak efektif dalam
merubah perilaku, sehingga perlu juga memperhatikan cara penyampaian dan isi
pesan dalam pelatihan. Hal senada juga dikemukakan oleh Tabernero dan Hernández (2012), dimana pada pelatihan sering hanya
memperhatikan keberhasilan dari segi skill
semata. Lebih lanjut Tabernero dan Hernández mengemukakan bahwa salah satu cara
yang dapat diterapkan untuk mendorong perilaku daur ulang yakni dengan
komunikasi persuasif pro-lingkungan[2]. Selain peningkatan pengetahuan juga perlu diperhatikan bahwa
faktor situasional seperti organisasi yang mengelola daur ulang juga memiliki
peran penting dalam mempengaruhi perilaku daur ulang.
[1] Prosentase perilaku rumah tangga terkait pemanfaatan dan pemilahan
sampah rumah tangga atau sampah domestik yang diolah dari hasil survey BPS
tahun 2012 dan 2013.
[2] Komunikasi
persuasif pro-lingkungan merupakan cara komunikasi yang dikembangkan oleh Pelletier
& Sharp (2008) dengan 3 langkap atau tahap (deteksi,
keputusan dan implementasi) penyampaian perilaku pro-lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar